Apakah Budaya Berkembang atau Merosot?
proclinicperditadipeso-Pertanyaan tentang apakah budaya manusia sedang berkembang atau merosot telah menjadi perdebatan panjang dalam filsafat, sosiologi, dan studi budaya.
Tidak ada jawaban mutlak, karena budaya bersifat dinamis—berubah, beradaptasi,
Beberapa ahli melihatnya sebagai siklus alami, sementara yang lain menekankan kemajuan linier atau dampak globalisasi.
Perspektif Kemerosotan: Teori Siklus dan Dekadensi
Salah satu pandangan klasik datang dari Oswald Spengler dalam bukunya The Decline of the West (1918-1922).
Ia menganalogikan peradaban seperti organisme hidup: lahir, berkembang, mencapai puncak, lalu merosot dan mati.
Setiap budaya besar (seperti Mesir Kuno, Romawi, atau Barat modern) mengalami siklus ini—musim semi (pertumbuhan kreatif),
musim panas (kejayaan), musim gugur (puncak), dan musim dingin (kemerosotan). Spengler memprediksi Barat sedang menuju “musim dingin” pasca-Perang Dunia I, ditandai hilangnya kreativitas dan dominasi materialisme.
Pandangan serupa ada pada Nietzsche dan Jung, yang melihat kemerosotan sebagai akibat dari hilangnya nilai spiritual, hubris, atau preferensi atas teori daripada realitas. Di era modern, kritikus menyebut dekadensi moral akibat globalisasi, seperti erosi nilai tradisional, individualisme berlebih, dan komersialisasi budaya.

Perspektif Kemajuan: Evolusi dan Adaptasi
banyak sosiolog melihat budaya sebagai proses evolusi linier. Auguste Comte dan tokoh modernisasi berpendapat bahwa masyarakat berkembang dari tradisional ke modern melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di era digital, budaya menjadi lebih inklusif, aksesibel, dan inovatif—misalnya, festival musik global atau seni digital yang menggabungkan elemen tradisional dengan teknologi.