Eksistensi dan Filsafat (Sebuah Pengantar Ringkas)
proclinicperditadipeso-Dalam filsafat, pertanyaan “mengapa ada sesuatu daripada tidak ada sesuatu sama sekali?Leibniz) adalah salah satu pertanyaan paling mendasar sekaligus paling mengganggu.Pertanyaan ini langsung membawa kita ke inti diskusi tentang eksistensi (existence / being / Sein / être / dasein).
1. Eksistensi dalam Filsafat Barat
a. Ontologi Klasik (Aristoteles hingga Aquinas)
Aristoteles mendefinisikan ontologi sebagai “ilmu tentang being qua being(tentang yang-ada sebagai yang-ada).Bagi dia, eksistensi bukanlah predikat tambahan, melainkan aktualisasi esensi (energeia).Thomas Aquinas kemudian membedakan secara tajam antara essentia (apa sesuatu itu) dan esse(fakta bahwa sesuatu itu ada). Bagi Aquinas, hanya Tuhan yang identitasnya adalah eksistensi itu sendiri (Ipsum Esse Subsistens).
b. Revolusi Kant
Kant menghancurkan argumen ontologis klasik(Anselmus, Descartes) dengan menyatakan bahwa“existence is not a real predicateMenurut Kant, “ada” bukan menambah apa pun pada konsep suatu bendaseratus taler yang nyata tidak mengandung lebih banyak daripada seratus taler yang hanya dibayangkan.
c. Eksistensialisme (Kierkegaard – Heidegger )
Di sinilah tema eksistensi menjadi benar-benar eksplosif.
- Kierkegaard: “Kebenaran adalah subjektivitas”. Manusia harus melompat dalam iman karena eksistensi selalu mendahului kepastian rasional.
- Heidegger (Being and Time, 1927): Pertanyaan tentang Being (Sein) telah dilupakan. Manusia adalah Dasein – makhluk yang pertanyaannya sendiri adalah tentang eksistensinya.
2. Pertanyaan yang Tetap Menggantung
- Jika eksistensi bukan predikat (Kant), mengapa kita masih bisa merasakan “keterpanaan eksistensial” (Heidegger)?
- Jika eksistensi mendahului esensi (Sartre), apakah itu berarti hidup benar-benar absurd, atau justru memberikan kebebasan tak terbatas?
-
Di era AI dan transhumanisme: apakah kesadaran buatan juga “ada” dalam arti eksistensial? Apakah esensi manusia masih relevan ketika kita bisa mengunggah pikiran?
3. Eksistensi di Era Kontemporer
- Filsafat Analitik: Quine (“To be is to be the value of a bound variable”), Kripke (possible worlds semantics), Derek Parfit (identitas pribadi sebagai kontinuitas psikologis).
- Postmodern: Derrida (“Il n’y a pas de hors-texte”), Baudrillard (hiperrealitas), Deleuze (becoming daripada being).